Implementasi Kegiatan Penyuluh

Pembangunan dan perkembangan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan di Indonesia tidak terlepas dari kegiatan Penyuluhan. Sejarah mencatat bahwa keberhasilan Indonesia dalam mencapai swasembada pangan pada 1984 dari keberhasilan kegiatan penyuluhan yang dilakukan secara masif dan terencana di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. 
Dalam perkembangannya, kegiatan penyuluhan sejak 1969 sampai dengan 1984 dapat dikatakan sebagai Periode Emas Penyuluhan Pertanian. Seluruh komponen dalam sistem penyuluhan (kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana) dapat dikatakan tertata dan disiapkan dengan baik, dengan dukungan finansial yang mencukupi. 
Perjalanan reformasi kehidupan berbangsa mengantarkan diundangkannya Undang-Undang nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah. Artinya, semua urusan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk menyelenggarakannya, kecuali untuk 6 urusan (politik luar negeri,pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama). 
Lalu, dinyatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 10). Kegiatan Penyuluhan termasuk sebagai kegiatan yang menjadi urusan Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakannya. 
Berikutnya, Undang-Undang nomor 16/ 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K) merupakan perkembangan yang terkait dengan kegiatan penyuluhan. Dengan demikian terdapat 3 kementerian yang secara formal berada dalam cakupan legislasi Undang-Undang tersebut. Sebagai Undang-Undang yang pertama kali mengatur tentang kegiatan penyuluhan, maka produk legislasi ini menjadi acuan penting bagi pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan, baik dari sisi kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana, pembiayaan, maupun dalam hal pembinaan dan pengawasan.
Namun saat ini ada, Ketentuan-ketentuan turunan yang terkait dengan Undang-Undang inipun secara bertahap diselesaikan,baik yang berkaitan dengan penetapan-penetapan peraturan pada tingkat pemerintah, Presiden, maupun Menteri-Menteri terkait. Sebagai contoh, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43/2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, yang menyatakan bahwa setiap Penyuluh PNS(Pegawai Negeri Sipil) yang telah mendapat sertifikat profesi sesuai dengan standar kompetensi kerja dan jenjang jabatan profesinya, diberikan tunjangan profesi Penyuluh.
Lalu, Melalui Peraturan Presiden No 10 tahun 2011, dibentuk Badan Koordinasi Nasional Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/2011 dibentuk Komisi Penyuluhan Perikanan Nasional. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa dukungan peraturan perundangan untuk pelaksanaan Sistem Penyuluhan di Indonesia telah pula diupayakan adanya. 
Dikaitkan dengan pelaksanaan Undang-Undang 32/2004, maka pelaksanaan Undang-Undang 16/2006 ternyata menimbulkan beberapa masalah yang dinilai mengganggu kelancaran pelaksanaan penyuluhan di lapangan. Pokok persoalan dinilai berhubungan dengan situasi bahwa disatu pihak Undang-Undang 32/2004 memberikan otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan.
Namun, di pihak lain Undang-Undang 16/2006 mengatur tentang kelembagaan penyuluhan sejak dari Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, sampai ke tingkat Desa/Kelurahan. Seperti, Komisi Penyuluhan misalnya, di tingkat Pusat masing-masing kementerian memiliki sendiri Komisi Penyuluhan sesuai dengan bidang tugasnya, sementara di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota Komisi Penyuluhan adalah gabungan dari bidang-bidang Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Keadaan ini dinilai janggal dan dapat berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya di lapangan.
Menjadi semakin berkembang, Badan yang menangani penyuluhan bergabung dengan Badan yang menangani Ketahanan Pangan. Misalnya bernama Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Terdapat peluang bahwa apabila hal ini terjadi, porsi kegiatan penyuluhan akan menjadi berkurang intensitasnya, juga curahan perhatian Badan yang bersangkutan terhadap kegiatan penyuluhan dapat menjadi berkurang pula.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan amandemen terhadap Undang-Undang No.16/2006. Revisi terutama berkaitan dengan harmonisasi aspek-aspek yang terkait dengan Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang saat ini juga dalam proses revisi. Secara khusus juga perlu diperhatikan kesesuaian Undang-Undang tentang Penyuluhan dengan Undang-Undang tentang Desa yang baru diluncurkan.
Diharapkan dengan demikian dapat diminimalkan dampak-dampak negatif benturan aturan dari berbagai produk perundangan tersebut terhadap kelancaran kegiatan penyuluhan. Analisis secara mendalam terhadap pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang 16/2006 diharapkan akan juga menemukan hal-hal yang perlu disempurnakan. Beberapa hal yang dinilai perlu diperhatikan dalam hal ini adalah: pertama, aspek kebijakan dan strategi penyuluhan telah dengan baik diuraikan dalam Bab IV. Diperlukan upaya khusus untuk memacu aturan-aturan turunan yang bersumber dari isi Bab IV ini, baik di tingkat kementerian, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Kedua, dengan asumsi bahwa daerah lebih memahami situasi dan kondisi daerahnya masing-masing, bentuk maupun sebutan kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota seyogyanya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal yang harus ditetapkan adalah tentang perlunya kegiatan penyuluhan dilakukan, bukan pada penetapan tentang lembaga penyuluhannya.
Penetapan Pos Penyuluhan di tingkat Desa perlu dicermati kembali, terutama untuk dapat melakukan sinkronisasi dengan Undang-Undang tentang Desa yang baru-baru ini disahkan. Kelembagaan Pelaku Utama perlu diserahkan sepenuhnya kepada pelaku utama; pemerintah dan pemerintah daerah perlu bertindak hanya sebagai fasilitator saja.
Ketiga, diperlukan penegasan tentang arah pengembangan tenaga penyuluh; apakah akan lebih diarahkan kepada penyuluhan PNS, atau akan lebih menjurus pada eksistensi penyuluh swadaya dan penyuluh swasta. Dapat pula dipertimbangkan agar pada saat yang tepat, penyuluh tidak lagi berstatus PNS, namun menjadi tenaga profesional yang direkrut dan dibiayai oleh para pelaku utama. Undang-Undang perlu secara cermat memberikan landasan legal untuk maksud tersebut.
Keempat, perlu ‘keberanian’ untuk belajar dari kenyataan tentang Programa Penyuluhan. Pasal-pasal 23, 24, 25, dan 26 secara eksplisit menguraikan tentang apa dan bagaimana program penyuluhan secara normatif, namun kenyataan di lapangan menunjukkan kecenderungan tidak berjalannya prinsip-prinsip dasar Programa seperti yang diharapkan.
Kelima, kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi informasi yang terjadi saat ini harus secara nyata dipertimbangkan dalam mekanisme kerja dan metode penyuluhan. Pendekatan LAKU (latihan
dan kunjungan) perlu untuk dijalankan berdampingan dengan pendekatan penyuluhan yang lebih berbasis teknologi komunikasi dan informasi tersebut. Dikembangkannya Cyber Extension dan SimLuh oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan langkah nyata positif terkait dengan hal ini. 
Aspek-aspek lain tentu masih terbuka untuk dibahas lebih lanjut. Mudahmudahan lontaran pemikiran ini dapat menjadi pertimbangan seluruh pihak terkait untuk terus memikirkan perbaikan dan penyempurnaan implementasi kegiatan penyuluhan di Indonesia.
*Dr. Andin H Taryoto
Dosen Jurusan Penyuluhan Perikanan
Sekolah Tinggi Perikanan
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. PENYULUH PERIKANAN STP JURUSAN PENYULUHAN PERIKANAN BOGOR
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger