Featured Post Today
print this page
Latest Post

POSISI PENYULUH PERIKANAN DALAM OTONOMI DAERAH

Bagi banyak pihak, otonomi daerah sudah menjadi katarsis yang menggembirakan. Sambutan pelaksanaan otonomi di daerah-daerah telah menimbulkan harapan baru, otonomi memberi ruang kebebasan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Pembangunan infrastruktur dan suprastruktur yang lebih banyak terjadi di wilayah pusat (Jawa) diharapkan akan bergeser atau berpindah ke daerah. Harapan terjadinyatrickle down effect yang semula hanya mimpi, nanti bakal sebaliknya. Pada masa pemerintahan yang sentralistik, pembangunan yang begitu cepat terjadi hanya ada di wilayah yang dekat dengan pusat. Otonomi akan memberi perhatian dan energi lebih banyak untuk pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang selama ini diabaikan.
Meski demikian timbul pula kecemasan baru tentang kesiapan daerah melaksanakan otonomi yang dimulai tahun 2001. Dari aspek pengelolaan sumber daya alam misalnya., telah terjadi puluhan bahkan ratusan pemberian izin oleh para bupati sebagai ekspresi “otonomi” pengelolaan hutan. Setiap izin diberikan untuk memanen kayu (bukan mengelola hutan) 100 hektar. Pemberian izin akan mengancam kelestarian sumber daya hutan. Sumber daya alam tidak dipungkiri, merupakan sumber pendapatan yang paling cepat dan memungkinkan untuk meningkat pendapatan asli daerah (PAD). Eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam ini persis sama seperti ketika Indonesia pertama kali mencanangkan pembangunan lima tahun pertamanya.Diterbitkanya UU Penanaman Modal Asing pada tahun1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968, memacu penanaman modal di sektor ekstraktif, yaitu hutan dan pertambangan.
Pelaksanaan UU itu membuat sumberdaya alam Indonesia luluh lantak. Sumberdaya alam (hutan) menjadi sasaran utama untuk meningkatkan devisa negara, guna membiayai pembangunan. Namun tanpa kebijaksanaan  pengelolaan dan penegakan hukum yang jelas, maka apa yang dialami daerah berkait dengan sumber daya alamnya akan sama sebangun dengan nasib sumber daya alam Indonesia saat ini, bahkan bisa lebih buruk. Kecemasan lainnya, berkait dengan subtansi otonomi sendiri yang mungkin dilihat masih mengandung resistensi dari pemerintah pusat untuk memberi wewenang lebih luas. Ada baiknya yang dipikirkan  saat ini adalah bagaimana pemerintah daerah membuat rencana strategis, rencana operasional, mengembangkan birokrasi/organisasi dan perangkat lunaknya, dan mengindentifikasi sumberdaya yang ada, yang bisa memanfaatkan seoptimal mungkin ruang otonomi yang diberikan dalam pijakan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999.
Otonomi daerah harus dilihat sebagai proses belajar bernegara. Ia memberi ruang luas untuk warga dalam berpartisipasi dalam proses pembangunan. Kalau dalam proses belajar itu, belajarnya rajin, sumber daya yang ada dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, dan tidak malu untuk bertanya, maka mungkin akan naik kelas. Perbincangan otonomi daerah tidak serta merta antusiasme di tingkat desa. Berbeda dengan UU No 5 Tahun  1979 yang secara spesifik mengatur Pemerintah Desa, UU Otonomi Daerah difokuskan pada otonomi pada tingkat  propinsi, kabupaten, dan kota. Desa hanya disinggung dalam pasal-pasal 93 sampai dengan 111. Dengan demikian, otonomi daerah juga memberi harapan-harapan baru bagi pemerintahan desa yang lebih otonom berdasarkan adat dengan segala institusinya. Desa yang otonom diharapkan mampu memberi ruang yang leluasa bagi rakyat desa untuk membangun dan memberdayakan dirinya sendiri. Mungkinkah itu akan terjadi?.
Soemardjan menyebut ada keraguan pemerintah pusat berdasarkan kenyataan, dalam UU Otonomi Daerah tidak disebutkan adanya daerah tingkat III, yaitu desa secara tegas. Ini karena masyarakat desa belum dewasa untuk otonomi, biaya otonomi desa terlalu tinggi, pendidikan penduduk desa rendah untuk memimpin  daerah otonom. Namun pada sisi lain, menurut hemat penulis, tidak sampainya desa menjadi otonomi tingkat III, justru akan memberi kebebasan pada desa untuk melepaskan diri dari pengaturan birokrasi pemerintah formal. Formalisasi dan homogenisasi bentuk dan struktur pemerintah desa seperti misalnya pasal 104, yang menyatakan, “Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat,membuat Peraturan Desa.” Memberi peluang bagi pemerintah pusat untuk mengatur birokrasi desa dan fungsi-fungsinya.
Jika ini yang terjadi, maka pemerintah desa sekali lagi akan terjebak pada birokrasi top down, yang terjadi dengan penerapan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa, dan terbukti gagal memberdayakan masyarakat. Sejarah menyebutkan, adat sebagai bentuk pemerintahan desa asli pada dasarnya berjalan dengan baik ratusan tahun sampai akhirnya dihancurkan berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru antara lain melalui UU No 5 Tahun 1979. Pamong dan birokrasi desa yang seragam dan ditentukan pusat dalam UU No 5 Tahun 1979 telah menguasai  dan berkuasa dalam kehidupan desa. Ini mengakibatkan institusi asli lokal tidak lagi berfungsi dan dihormati warga desa, karena warga wajib mematuhi institusi baru yang ditetapkan pemerintah pusat.
Karena itu, sistem birokrasi dan pengaturan pemerintahan dalam UU otonomi daerah seharusnya berhenti hanya pada tingkat Kecamatan. Rakyat yang terorganisasi dalam bentuk-bentuk desa (di Jawa dan Bali), nagari (di Minangkabau), dusun dan marga (di Palembang) dan lainnya, diberi hak mengatur kehidupannya sendiri, sesuai realitas sehari-hari yang dipahami (Zakaria,1999). Dalam hal Pemerintahan Desa UU Otonomi Daerah cenderung mengulangi kesalahan sejarah.

Penyuluh Perikanan dan Otonom

Bagaimana dengan penyuluh perikanan dan binaannya? Kelompok masyarakat yang paling tidak didengar suaranya dalam hiruk pikuk otonomi daerah adalah penyuluh perikanan dan binaannya (pelaku utama yakni pembudidaya, nelayan dan pengolah ikan, nelayan didaerah sungai, danau dan rawa, sebagainya yang menurut perkiraan sekitar 16,5 juta orang dari 237 juta rakyat Indonesia). Memang, penyuluh perikanan Indonesia jumlahnya masih sedikit hanya 3.387 orang, seperti digambarkan Eric Wolf (1983) masih dipandang sebagai seekor domba yang secara berkala dicukur untuk diambil bulunya: “tiga karung penuh-satu hanya majikanku, satu untuk istriku, dan satu untuk anak kecil yang tinggal di jalan”. Namun kini semuanya untuk majikan.Penyuluh Perikanan hanya menangis yang tersisa dari harga yang termurah. Penyuluh perikanan masih dianggap sebagai satu sumber tenaga kerja dan kurang dapat menambah dana kekuasaan (fund of power)  bagi orang lain, meski sebetulnya penyuluh perikanan adalah pelaku ekonomi dan kepala rumah tangga.
Sumber produksi tidak lagi dimiliki dan dikuasai penyuluh perikanan dan binaannya, tetapi pemilik modal yang umumnya elite desa atau orang urban yang masuk desa keluar desa. Istilah penyuluh perikanan dan binaannya pelaku utama gurem yang hanya memiliki kurang dari 0,2 Ha-mencerminkan keadaan pelaku utama saat ini. Penggunaan tanah sebagai faktor produksi utama, kebebasan pelaku utama untuk menentukan jenis komoditas ikan yang dipelihara dan teknik penanamanya merupakan faktor penting terpuruknya pelaku utama di Indonesia. Faktor-faktor produksi itu tidak lagi dibawah kendali pelaku utama.
Sekitar 30 tahun  lalu, kelompok ini adalah kelompok yang ada di bawah ambang garis kemiskinan. Tiga puluh tahun kemudian (tahun 1990-an sebelum krisis) kelompok ini sempat diatas ambang kemiskinan dan tinggal sekitar 20-25 persen. Adanya krisis, posisinya kembali ke square one. Bahkan lebih buruk karena harga ikan atau hasil perikananumumnya tidak lebih baik dari biaya produksi yang dikeluarkan. Laporan terakhir menyebutkan, meski harga dasar ikan ditentukan oleh pasarpada Rp. 14.000-Rp.28.000/kg, namun nyatanya pelaku utama yang bergelut di bawah terik matahari cuma bisa menjual dengan harga sekitar Rp.10.000/kg. Di daerah, harga-harga hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, kemenyan, damar resin, atau buah juga mengalami hal yang serupa, bahkan keberadaannya tergeser dengan usaha pertambangan, yang berdampak pada pencemaran hasil laut, sungai, dan danau di dekatnya. Sementara itu sengketa yang berkait dengan tanah tidak pernah terselesesaikan hingga detik ini. Bahkan dengan otonomi daerah ada kencenderungan pemerintah daerah membuka pintu lebar-lebar untuk investor, termasuk pengekspor pasir letupan Gunung Berapi Oyama Pulau Miyake dari Jepang ke Kutai Timur, Kalimantan Timur (yang mungkin saja ada kandungan limbah beracunnya).
Kecenderungan industrialisasi yang melupakan pelaku utama dan pembinanya mungkin akan menjadi bumerang bagi pemerintah daerah.Perlu ada pertemuan pelaku utama se-Indonesia yang berakhir dengan kesepakatan untuk memboikot usaha perikanan bila tidak ada perubahan harga padi yang membaik, merupakan pertanda akan bangkitnya radikalisme pelaku utama.
Peran Penyuluh Perikanan dalam Otonomi Daerah
Tujuan utama pengembangan pemberdayaan masyarakat adalah (a) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama dan keluarganya, melalui peningkatan produktivitas, kualitas dan pengembangan produk olahan dari komoditas-komoditas perikanan (b) Meningkatkan ketahanan  pangan melalui peningkatan ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutunya aman, bergizi, merata dan terjangkau oleh masyarakat (c) Mendorong berkembangnya usaha perikanan berwawasan bisnis yang mampu menghasilkan produk-produk perikanan yang berdaya saing yang menghasilkan nilai tambah bagi perkembangan ekonomi wilayah dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya (d) Mengembangkan Usaha Kecil Menengah (UKM) Perikanan serta memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha.

Strategi untuk mewujudkan tujuan utama pemberdayaan masyarakat yaitu (a) pengembangan usaha perikanan ditekankan tidak hanya pada aspek produksi (on farm) saja tetapi juga pada aspek kegiatan di luar aspek produksi (off farm) seperti pengolahan, pemasaran, industri kecil dan jasa yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah dan masyarakatnya. Pengembangan usaha perkanan perlu dirancang dalam kapasitas skala ekonomi yang menguntungkan. Begitu juga pengembangan komoditas-komoditas unggulan harus dilakukan denganintegrated fisheries system atau sistem usaha perikanan terpadu. (b) Fokus pemberdayaan lebih ditekankan pada sasaran keluarga (rumah tangga) daripada komoditas. Perjanjian kredit atau perjanjian lain yang terkait dengan kegiatan pemberdayaan, hendaknya diketahui atau merupakan tanggung jawab keluarga. (c) Untuk mewujudkan pengolahan usaha perikanan skala ekonomi, maka pembinaan pelaku utama diarahkan untuk berhimpun dalam kelompok lain dan juga melalui gabungan kelompok/asosiasi (bila di perlukan) sebelum terbentuknya wadah koperasi. (d) Pengembangan kader-kader potensi menjadi kader penggerak atau pelopor perikanan bagi wilayahnya.(e) Pemerintah (baik Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota) perusahaan (terutama perusahaan besar) dan LSM (terutama LSM besar) berkewajiban untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat. Program ini merupakan katub penangkal untuk mencegah terjadinya kerawanan yang disebabkan oleh kemiskinan, fasilitasi dan bantuan awal usaha yang sesuai dengan kebutuhan oleh pelaku utama. Dengan demikian kredit program dan perbankan seperti kredit ketahanan pangan dan kredit perbankan lainnya, serta dana fasilitas untuk pemberdayaan masyarakat dari perusahaan besar dan pihak lain sesuai kebutuhan. (f) Kegiatan fasilitasi yang sangat diperlukan pelaku utama antara lain menyangkut masalah mengenai informasi/mengakses pasar, permodalan, tehnologi dan sarana perikanan, peningkatan keterampilan (tehnis dan kewirausahaan), disamping pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana seperti jalan, pasar dan lembaga keuangan alternatif.

Guna meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan ketahanan pangan, petani perlu mengembangkan agribisnis terpadu yang dirancang dalam kapasitas skala ekonomi yang menguntungkan. Pembangunan agribisnis pangan dapat didasarkan pada basis komoditas pertanian tanaman pangan dan hortikultura sebagai komoditas utamanya, atau komoditas peternakan atau komoditas perkebunan, atau dapat pula komoditas perikanan sebagai komoditas unggulan utamanya.

Komoditas pangan untuk ketahanan pangan keluarga komoditas yang berasal dari sumber hayati darat dan air, bahan produk primer maupun olahan yang merupakan bahan makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia. Mekanisme pengembangan Model Perikanan untuk Ketahanan Pangan dilakukan melalui sistem tranformasi Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi (IPTEK) melalui kader-kader yang dinilai potensial, disamping melalui sistem kerja penyuluhan peirikanan : Kader-kader yang telah dididik berkewajiban mentransfer Iptek kepada pelaku utama dan masyarakat sekitarnya.

Program pemberdayaan masyarakat merupakan katup penangkal untuk mencegah terjadinya kerawanan yang disebabkan oleh kemiskinan. Oleh karena itu Gubernur dan Bupati/Walikota perlu menghimbau para perusahaan besar, LSM dan tokoh masyarakat, seperti tokoh agama/pimpinan pondok pesantren, ulama, tokoh gereja,pimpinan pasraman dan pemuka masyarakat, yang ada di wilayahnya untuk ikut aktif berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat dan menyalurkan  sebagian dari dana keuntungan perusahaan untuk pemberdayaan masyarakat.

Lalu tantangannya adalah apakah otonomi daerah akan memberi kehidupan lebih baik pada penyuluh perikanan dan binaannya? Petani adalah elemen terbesar menikmati keuntungan otonomi daerah. Mampukah pemerintah daerah menjamin hak-hak berproduksi dan menjamin harga komoditas yang lebih baik dan menguntungkan pelaku utama perikanan? Mampukah pemerintah daerah memberdayakan penyuluh perikanan dan para pelaku utama binaannya, sehingga mereka bisa meingkatkan posisi tawar untuk menentukan harga? Maukah pemerintah daerah membuka jalan agar tumbuh mitra penyuluh perikanan dan binaannya pelaku utama? Bagaimana pemerintah desa bisa menjadi pihak yang mempunyai kekuatan untuk membela pelaku utama? Bagaimana penyuluh perikanan bisa menjadi konstituen yang dapat diperhitungkan.

Penulis:  Mochamad Wekas Hudoyo (Penyuluh pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan-Jakarta)

Sumber: 
http://103.7.52.118/pusluh/index.php/arsip/c/1902/?category_id=2
0 komentar

PENTINGNYA PENERAPAN PENDEKATAN EKOSISTEM DALAM PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI INDONESIA

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan Undang-Undang tersebut yaitu pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Penerapan Pendekatan Ekosistem (PE) membantu untuk menyeimbangkan tiga tujuan konservasi Konvensi Keanekaragaman Hayati; pemanfaatan secara berkelanjutan; dan pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik. Akibatnya, PE dapat dianggap sebagai cara untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, konsep yang menggantikan kebijakan sebelumnya berupa pembangunan berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja.
Kata kunci: Pendekatan Ekosistem, Pengelolaan Perikanan, Sumberdaya Ikan
PENDAHULUAN
Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari Perairan Nusantara seluas 2,8 juta km2, Laut Teritorial seluas 0,3 juta km2. Perairan Nasional seluas 3,1 juta km2, Luas Daratan sekitar 1,9 juta km2, Luas Wilayah Nasional 5,0 juta km2, luas ZEE (Exlusive Economic Zone) sekitar 3,0 juta km2, Panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau besar dan kecil yang menyimpan kekayaan alam yang melimpah, 12.000 pulau diantaranya berpenghuni, 9.634 pulau belum bernama. Sekitar 60% penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan perekonomian seperti: perdagangan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, pertambangan, transportasi laut, dan pariwisata bahari. Potensi penduduk yang berada menyebar di pulau-pulau merupakan aset yang strategis untuk peningkatan aktivitas ekonomi antar pulau sekaligus pertahanan keamanan negara.
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan Undang-Undang tersebut yaitu pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Servis ekosistem dan manfaat penting untuk mengenali beberapa manfaat ekosistem laut pesisir yang berikan kepada manusia. Manfaat ini bisa disebut "jasa ekosistem" dan meliputi: (a) pasokan ikan untuk makanan; (b) mata pencaharian dan pendapatan nelayan dan masyarakat nelayan melalui pemanenan, pengolahan dan perdagangan; (c) nilai-nilai warisan budaya dan tradisional; (d) pembangunan ekonomi melalui pariwisata, perdagangan dan transportasi; dan (e) perlindungan pesisir dan ketahanan terhadap variabilitas iklim dan perubahan, serta bencana alam. Pendekatan ekosistem kini diterima sebagai pendekatan manajemen dapat diterapkan pada berbagai skala, sektor dan pendekatan multi-sektoral. Istilah "pendekatan ekosistem" ini (PE) pertama kali dicetuskan pada awal tahun 1980, tetapi menemukan penerimaan formal pada KTT Bumi di Rio pada tahun 1992, di mana ia menjadi konsep yang mendasari Konvensi Keanekaragaman Hayati yang didefinisikan sebagai: "Strategi untuk pengelolaan terpadu tanah, air dan sumber daya hayati yang mempromosikan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dengan cara yang adil" (SEAFDEC, 2015).
Secara alamiah, pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting. Berdasarkan beberapa keadaan dan permasalahan tersebut perlu dilakukan penulisan artikel ilmiah mengenai “Pentingnya Penerapan Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia” dalam rangka turut memberikan masukan kepada pihak terkait.
 TUJUAN PENULISAN ARTIKEL
Tujuan penulisan artikel ini adalah:
1.     Menjelaskan konsep pengelolaan perikanan berpendekatan ekosistem.
2.     Menjelaskan pentingnya pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan.
3.     Menjelaskan implementasi pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai : “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3 perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut di atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini paling tidak menyangkut perubahan kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan (Adrianto, 2005). Sementara itu, Pikitch, et.al (2004) mendefinisikan EAFM sebagai sebuah proses penyempurnaan pengelolaan perikanan yang dimulai dari sudut pandang kesehatan ekosistem (ecosystem health) sebagai media penting dari proses keberlanjutan sumberdaya ikan sebagai obyek dari pengelolaan perikanan. Dalam pengertian lebih sederhana, EAFM sesungguhnya menitikberatkan pada keterkaitan (konektivitas) antara target species sumberdaya ikan dengan ekosistem perairan dan segenap unsur terkait di dalamnya. Konektivitas ini tidak hanya dalam perspektif ekologi (ecological connectivities) tapi juga konektivitas antara sistem ekologis dengan sistem sosial sebagai unsur utama dari pengelolaan perikanan seperti yang dinyatakan oleh Hilborn (2010) bahwa “fisheries management is a matter of managing human behavior”.
Smith and Zhang (2008) menjelaskan: solusi dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dicirikan oleh stabilitas keseluruhan sistem. Hal ini penting untuk pengelolan sumber daya secara keberlanjutan, yakni penekanan: (a) bahwa solusi untuk masalah harus layak untuk jangka waktu yang panjang; (b) bahwa sistem tidak harus diminta untuk mengalami perubahan ekstrim dalam jangka pendek waktu untuk mencapai solusi yang diinginkan; (c) bahwa solusi dicari sering merupakan kompromi dari pilihan yang tersedia, bukan untuk beberapa kasus ekstrim; dan (d) dan tidak terlalu rumit untuk dilaksanakan.
PEMBAHASAN
Konsep Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem
Penerapan PE membantu untuk menyeimbangkan tiga tujuan konservasi Konvensi Keanekaragaman Hayati; pemanfaatan secara berkelanjutan; dan pembagian yang adil dan merata dari keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya genetik. Akibatnya, PE dapat dianggap sebagai cara untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, konsep yang menggantikan kebijakan sebelumnya pembangunan berdasarkan pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh Brundtland (1987) sebagai: "Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri."
Manfaat manajemen EAFM (SEAFDEC 2015), meliputi:
1.     pertimbangan yang lebih luas dari hubungan antara ekosistem dan perikanan;
2.     kontribusi bagi perencanaan penggunaan sumber daya yang lebih efektif;
3.     fasilitasi trade-off antara prioritas pemangku kepentingan yang berbeda, menyeimbangkan manusia dan kebutuhan ekologis;
4.     partisipasi stakeholder meningkat yang mengarah ke: (1) perencanaan yang lebih baik dari sumber daya menggunakan; dan
5.     penggunaan yang lebih adil dari sumber daya alam (baik perikanan dan non-perikanan terkait);
6.     bantuan dengan menyeimbangkan produksi ikan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan habitat perlindungan;
7.     bantuan dengan menyelesaikan atau mengurangi konflik antara para pemangku kepentingan;
8.     pengakuan yang lebih besar dari nilai-nilai budaya dan tradisional dalam pengambilan keputusan; dan
9.     memungkinkan untuk skala yang lebih besar, masalah jangka panjang untuk diakui dan dimasukkan ke dalam perikanan dan pengelolaan sumber daya pesisir (misalnya implikasi jangka panjang dari perubahan iklim dan pengasaman laut, degradasi habitat, pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, globalisasi, dll).
 Pembangunan berkelanjuatan diterima secara luas bahwa "kesejahteraan" adalah sebuah konsep yang mengacu pada keadaan sistem (misalnya ekosistem atau sistem sosial). Aspek-aspek tertentu dari dua dimensi kesejahteraan dan apa yang dimaksud dengan tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1.     Kesejahteraan Ekologi, berkaitan dengan ekosistem laut dan pesisir, terdiri dari sedikitnya lima aspek utama: (a) Ekosistem yang sehat memaksimalkan barang dan jasa ekosistem; (b) keanekaragaman hayati yang mengarah ke ketahanan ekosistem; (c) struktur yang mendukung ekosistem dan habitat (termasuk DAS terhubung.); (d) lautan sehat, daerah pesisir dan daerah aliran sungai; dan (e) jaring makanan berdasarkan berbagai sumber produksi primer. Kesehatan ekosistem sering dinyatakan dengan menggunakan indikator dalam hal karakteristik terukur yang menggambarkan: (i) proses kunci yang menjaga ekosistem yang stabil dan berkelanjutan (misalnya ada tidak adanya ganggang biru-hijau); (ii) zona dampak manusia tidak memperluas atau memburuk (misalnya pengurangan batas spasial limbah nitrogen); dan (iii) habitat kritis tetap utuh (misalnya padang lamun).
2.     Kesejahteraan Manusia, mengacu pada semua komponen manusia yang tergantung pada, dan mempengaruhi, ekosistem. Kesejahteraan manusia mencerminkan berbagai kegiatan atau prestasi yang merupakan kehidupan yang baik. Hal ini juga diterima bahwa kesejahteraan adalah konsep multidimensional yang mencakup semua aspek kehidupan manusia. Penghasilan, dengan sendirinya, meskipun komponen penting, bisa tidak cukup menangkap luas atau kompleksitas kesejahteraan manusia. Delapan aspek kesejahteraan manusia adalah: (a) Standar bahan hidup (pendapatan, makanan dan kekayaan); (b) Kesehatan; (c) Pendidikan; (d) Kegiatan Pribadi (rekreasi dan pekerjaan); (e) Suara politik dan pemerintahan; (f) Hubungan sosial dan hubungan; Lingkungan Hidup (kondisi sekarang dan masa depan); dan (g) Keamanan Ekonomi dan keselamatan manusia. Aspek-aspek tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa mengukur kesejahteraan manusia melampaui laporan subjektif diri dan persepsi, dan harus mencakup ukuran yang objektif dari tingkat rakyat "set kesempatan" dan kapasitas mereka (atau kebebasan) untuk memilih dari peluang tersebut dalam kehidupan mereka nilai. Kedua faktor obyektif dan subyektif yang penting dalam pengukuran delapan aspek yang tercantum di atas.
3.     Tata Kelola yang baik, mengacu pada institusi dan pengaturan yang efektif untuk menetapkan dan menerapkan aturan dan peraturan. Singkatnya, tata kelola yang baik terkait dengan kepengurusan di mana individu, organisasi, komunitas dan masyarakat berusaha untuk mempertahankan kualitas ekosistem yang sehat dan tangguh dan populasi manusia yang terkait. Stewardship mengambil pandangan jangka panjang dan mempromosikan kegiatan yang menyediakan untuk kesejahteraan kedua ini dan masa depan generasi. Manajemen berbasis ekosistem (MBE) sering digunakan bergantian dengan PE, tetapi dalam beberapa konteks, lebih memfokuskan pada dimensi ekologi/lingkungan pembangunan berkelanjutan.
Pentingnya Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting.
Pada Gambar 2 disajikan model sederhana dari interaksi antar komponen dalam ekosistem yang mendorong pentingya penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM). Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa interaksi antar komponen abiotik dan biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama mengapa pendekatan ekosistem menjadi sangat penting.
Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan sumberdaya ikan. Apabila interaksi antar komponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan dapat dipastikan menjadi terancam. Pada Gambar 2 juga dijelaskan bahwa EAFM sesungguhnya bukan hal yang baru. EAFM merupakan pendekatan yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan yang sudah ada (conventional management). Pada Gambar tersebut, proses yang terjadi padaconventional management digambarkan melalui garis tebal, sedangkan pengembangan dari pengelolaan konvensional tersebut melalui EAFM digambarkan melalui garis putus-putus. Sebagai contoh, pada pengelolaan konvensional kegiatan perikanan hanya dipandang secara parsial bagaimana ekstraksi dari sumberdaya ikan yang didorong oleh permintaan pasar. Dalam konteks EAFM, maka ekstraksi ini tidak bersifat linier namun harus dipertimbangkan pula dinamika pengaruh dari tingkat survival habitat yang mensupport kehidupan sumberdaya ikan itu sendiri.
Implementasi Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia
Menurut Gracia and Cochrane (2005), sama dengan pendekatan pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro menitikberatkan pada pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga perlu dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumberdaya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.
Sementara itu, perencanaan strategi (strategies planning) lebih menitikberatkan pada formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada rencana kebijakan (policy plan). Strategi yang dipilih bisa saja berasal dari kesepakatan strategi yang berlaku secara umum baik di level nasional maupun internasional misalnya pengurangan non-targeted fish dan by-catch practices; penanggulangan pencemaran perairan; pengurangan resiko terhadap nelayan dan sumberdaya ikan; penetapan kawasan konservasi, fish refugia site approach, dan lain sebagainya.
Smith and Zang (2008) menyebutkan "seafood berkelanjutan" adalah semua langkah yang dilakukan agar populasi spesies ikan yang sedang dikelola dengan cara yang dapat menyediakan kebutuhan hari ini tanpa merusak kemampuan spesies untuk mereproduksi dan mempertahankan populasi berlimpah untuk generasi masa depan konsumen. Langkah yang dilakukan untuk menuju Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan dimulai dengan menentukan sebagian besar masalah utama perairan dan indikator. Tujuan jangka panjang dari Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan termasuk pengembangan prinsip-prinsip, kriteria dan indikator untuk mendukung pengambilan keputusan dan identifikasi peluang untuk kolaborasi.
Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan menekankan pada perlunya kolaborasi dan komitmen untuk interdisipliner, antar-yurisdiksi, dan kolaborasicross-ownership yang mengidentifikasi dan mendukung baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah pengelolaan sumberdaya perairan.
Langkah dalam pergerakan prinsip-prinsip menuju aksi:
1.     Dari prinsip untuk tujuan kebijakan
Terjemahan dimulai dengan mengubah prinsip-prinsip tingkat tinggi membimbing ke tujuan kebijakan. Banyak dari prinsip-prinsip yang mendasari berharga EAFM begitu generik yang mereka dapat benar-benar dicapai dalam arti praktis. Selain itu, banyak dari karakteristik ekosistem, seperti kesehatan ekosistem, integritas, ketahanan sulit untuk mengukur konsep yang tidak sepenuhnya dipahami dan sulit diterapkan dalam praktek. Prinsip-prinsip ini sering dimasukkan dalam tujuan kebijakan-tingkat yang lebih tinggi, misalnya melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan habitat perikanan, melindungi penting fungsi rantai makanan dan sebagainya, yang biasanya menjadi dasar kebijakan dan rencana nasional.
2.     Dari tujuan kebijakan terhadap isu-isu dan tujuan pengelolaan
Tujuan kebijakan-tingkat yang lebih tinggi ini maka perlu dipecah menjadi tujuan pengelolaan yang lebih spesifik. Hal ini dicapai dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan isu-isu dan kemudian mengembangkan tujuan manajemen untuk setiap masalah. Pada tingkat operasional ini, prioritas dapat diatur melalui proses penilaian risiko dan trade-off dan saldo dicapai melalui konsensus. Tujuan-tujuan ini harus cukup spesifik bahwa satu atau tindakan manajemen lainnya dapat mengatasi mereka dan keberhasilan (atau sebaliknya) dari intervensi ini dapat dipantau dan dinilai.
3.     Dari tujuan tindakan manajemen
Setiap tujuan pengelolaan dapat dicapai dengan pelaksanaan tindakan manajemen (misalnya memperkenalkan batas pada jumlah kapal penangkap ikan, meningkatkan ukuran mesh jaring, penanaman mangrove, memperkenalkan KKL, dll). Seringkali, satu tindakan manajemen dapat mengatasi beberapa tujuan. Asalkan ada keterkaitan yang baik antara tujuan tingkat tinggi kebijakan dan tujuan pengelolaan, tindakan manajemen dalam rencana EAFM menerapkan kebijakan.
 Rencana pengelolaan perikanan yang baik, setidaknya memiliki sifat:
1.     Membuat prinsip-prinsip umum dan tingkat tujuan yang lebih tinggi: untuk prinsip-prinsip EAFM secara umum efektif dan tujuan kebijakan tingkat yang lebih tinggi perlu diterjemahkan ke dalam tujuan manajemen. Tujuan operasional merupakan tujuan pengelolaan yang manajemen tepat. Misalnya, "Mempromosikan pembangunan berkelanjutan perikanan" tidak dapat diatasi langsung oleh manajemen, tetapi tujuan operasional "Mengurangi jumlah kapal nelayan" dapat diatasi dengan ukuran manajemen.
2.     Memberikan arahan: perencanaan memberikan arah yang jelas untuk kegiatan manajemen. Ini memperkuat kepercayaan para pemangku kepentingan dan mendorong mereka untuk bergerak sepanjang jalan yang dipilih, sementara juga menjelaskan tindakan yang harus mereka ambil untuk mencapai tujuan.
3.     Pertimbangkan program alternatif tindakan: perencanaan memungkinkan manajer untuk memeriksa dan menganalisa program alternatif tindakan dengan pemahaman yang lebih baik dari kemungkinan konsekuensi mereka.
4.     Mengurangi ketidakpastian: Pasukan perencanaan manajer dan para pemangku kepentingan untuk melihat melampaui keprihatinan langsung. Hal ini mendorong mereka untuk menganalisis kompleksitas dan ketidakpastian lingkungan dan berusaha untuk mendapatkan kontrol.
5.     Minimalkan keputusan impulsif dan sewenang-wenang: perencanaan cenderung untuk meminimalkan kejadian keputusan impulsif dan sewenang-wenang dan tindakan ad hoc. Ini mengurangi kemungkinan kesalahan utama dan kegagalan dalam tindakan manajerial. Ini menyuntikkan ukuran disiplin dalam pemikiran dan tindakan.
6.     Memberikan dasar untuk manajemen yang lebih baik: ia menyediakan dasar bagi fungsi manajerial lainnya. Dengan demikian, perencanaan adalah fungsi sentral sekitar yang fungsi lain (misalnya monitoring, kontrol dan pengawasan (MCS)) dirancang.
7.     Sertakan respon adaptif: perencanaan cenderung untuk meningkatkan kemampuan manajemen untuk beradaptasi secara efektif dan menyesuaikan kegiatan dan arah dalam menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal.
8.     Aktifkan tindakan proaktif: sementara adaptasi dilakukan sebagai reaksi dan respon terhadap beberapa perubahan di dunia luar, tidak cukup dalam beberapa situasi. Dalam pengakuan kenyataan ini, perencanaan merangsang manajemen untuk memutuskan di muka pada tindakan apa yang harus diambil ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana (aturan kontrol).
9.     Meningkatkan transparansi: membuat pengambilan keputusan yang transparan dan tersedia bagi semua pemangku kepentingan.
 Menurut Cochrane (2002), rencana strategi tersebut paling tidak juga memuat instrument aturan main dan perangkat pengelolaan input dan output control yang disusun berdasarkan analisis resiko terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu sendiri.
Sedangkan rencana pengelolaan (management plan) menitikberatkan pada rencana aktivitas dan aksi yang lebih detil termasuk di dalamnya terkait dengan aktivitas stakeholders, rencana pengendalian, pemanfaatan dan penegakan aturan main yang telah ditetapkan dalam rencana strategis. Dalam rencana pengelolaan, mekanisme monitoring dan pengawasan berbasis partisipasi stakeholders juga ditetapkan.
PENUTUP
Tujuan utama EAFM adalah pemanfaatan berkelanjutan dari seluruh sistem, bukan hanya satu spesies. Namun, penerapan sebuah EAFM tidak berarti memulai lagi sebagai EAFM dibangun di atas unsur-unsur yang ada pada manajemen perikanan. Hal ini juga terjadi secara bertahap dan akan memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menerapkan semua elemen EAFM. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan menekankan pada perlunya kolaborasi dan komitmen untuk interdisipliner, antar-yurisdiksi, dan kolaborasi cross-ownership yang mengidentifikasi dan mendukung baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah pengelolaan sumberdaya perairan.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. Y. Matsuda, Y. Sakuma. 2005. Assesing Sustainability of Fishery Systems in A Small Island Region: Flag Modeling Approach. Proceeding of IIFET, Tokyo.
Cochrane, K. L. 2002. Fisheries management. In A Fishery Manager?s Guidebook. Management Measures and their Application. 1e20. Ed. by K.L. Cochrane. FAO Fisheries Technical Paper, 424. 238 pp.
FAO. 2003. Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Paper.
Gracia, S.M. and Cochrane, K.L 2005. Ecosystem Approach to Fisheries : A Review of Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Sciences (62).
Pitcher, T.J. and D. Preikshot. 2001. RAPFISH : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries       Research Report, Fisheries Center University of British Colombia, Vancouver.
SEAFDEC, 2015. Handbook Essential EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) disampaikan pada The Regional Training Courses on Essential Ecosystem Approach to Fisheries Management (E-EAFM) pada tanggal 2 – 8 Maret 2015 yang diselenggarakan oleh The Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), Rayong Province – Bangkok, Thailand.
Smith E. T. and Zhang H. X., 2008. Sustainability of Marine Resources: Fisheries Utilization. Water Resources Development, WEFTEC’08, 2008, 1255-1270. New Orleans, LA. Yang didownload dari http://acwi.gov/swrr/Rpt_Pubs/ WEFTEC08_S17_Smith-Zhang.pdf
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.

Penulis:

Fahrur Razi S.ST

SUmber: http://103.7.52.118/pusluh/index.php/arsip/c/1971/?category_id=2
0 komentar
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2015. PENYULUH PERIKANAN STP JURUSAN PENYULUHAN PERIKANAN BOGOR
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger